Kamis, 29 November 2012

Orang Minangkabau Menjadi Imam di Masjidil Haram


                          Dr. AHMAD KHATIB AL MINANGKABAUWI






Ah­mad Khatib lahir pada 26 Mei 1860 M dari pasangan Abdul Latief, warga Koto Gadang dan Limbak Urai, asal Koto Tuo Balai Gurah, Ampek Angkek, Canduang, Bukittinggi. , Ahmad Khatib dibawa ayahnya menunaikan rukun Islam ke-5 ke Makkah. Di tanah Makkah, Ahmad Khatib tidak  sekadar menu­naikan ibadah haji. Tapi, ia  gigih menggumuli al-Islam secara mendalam (liyatafaqqahu fi Addin)—baik pendekatanlafzhiyah maupun ma’nawiyah

Cuma dalam rentang wak­tu 9 tahun (1287 H/1871 M hingga 1296 H/1876 M), Ahmad Khatib mampu menye­lesaikan pembelajaranya di bawah asuhan ulama Makkah terkemuka. Misalnya: Sayyid Zayn al- Dahlan, Syekh Bahr al-Syatta, Syekh Yahya al-Qabli dan lainnya. Harap mafhum! Guru bertaraf tinggi (faqihun wa al-hakimun) ini tidak hanya sayang pada Ahmad  Khatib, lebih dari itu mereka berdecak-kagum atas kecerdasan plus keelokan budi sang murid dari jawi (pang­gilan Arab terhadap Indonesia/Melayu) ini. Bah­kan, sejak Ahmad Khatib menyauk ilmu di tanah haram itu pula, pameo segelintir Arab yang berkonotasi sinis, mencibir dan mengejek orang Indonesia/Melayu berangsur redup—yang pada akhirnya punah. “Jawi ya’kul hanas: orang Melayu makan ular”. Begitu cemooh Arab tradisionalis pada Indo­nesia.

Simpati yang diraup Ah­mad Khatib tidak hanya dari para ulama berpikiran maju, Bangsawan Arab: Syekh Sha­lih al-Qurdi malah meminang Ahmad Khatib sebagai me­nan­tu, dengan mempersunting si sulung-nya bernama Kha­dijah (1879). Berkat tangan dingin mertua, Ahmad Khatib disuguhi peluang mentran­sfor­ma­sikan segala kemam­puan­nya di Masjidil Haram. Malah satu anugerah tidak ternilai, menjelang abad ke-20 si kutu kitab ini diamanahi menggenggam jabatan khatib dan Imam Besar Masjidil Haram. Dan, bila sang Imam dari tanah Minang ini, meng­imami salat di masjid yang dikunjungi jutaan umat Islam dari pelbagai penjuru dunia tersebut, meluncurlah suara penuh zauq (getaran) dari mulut beliau. Soalnya, selain amat sangat fashahah (fasih), malah melebihi kefasihan lidah orang Arab sendiri,beliau juga punya suara mer­du, dan mengusai irama cukup beragam dan bervariasi dengan model tartil (membaca cepat, tapi khidmat).Sekali lagi, bila pengagum Ibnu Thaimiyah ini, tampil mengimami salat, maka ribuan, bahkan jutaan jemaah, benar-benar salat dengan khusyu’. Bahkan ba­nyak jemaah salat yang bulu kuduknya merinding dan menangis-terisak. Apalagi andai sang imam membaca ayat-ayat; kezaliman orang-orang kafir menindas umat Islam. Maklum, ketika itu sejumlah negara Islam termasuk Indonesia yang penduduknya mayoritas ber­agama Islam, masih bertekek-lutut di bawah imperialisme negara-negara barat.

Murid Ahmad khatib sanga­tlah banyak dari pelbagai sudut negeri. Sebut saja di negri ini Abdul Karim Amrullah, alias Inyiak Rasul/ayah Ham­ka; Muhammad Jamil Jambek; Abdullah Ahmad; Ibrahim Musa Parabek; H Agoessalim; KH. Ahmad Dah­lan( pendiri Muhammdiyah); dan banyak lagi sederet tokoh Islam lainnya.

Ahmad Khatib me­nuang­kan buah pikirannya dalam aspek ilmu seni, fiqih, ushul fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu berhitung, ilmu ukur, kewarisan dan ihwal adat Minangkabau yang lebih kurang berjumlah 50 judul.

Menjadi Khatib,imam dan guru besar di Masjidil Harram sampai sekarang tidak lah bisa sembarangan orang.Ini adalah merupakan bukti bahwa Ahmad Khatib dan orang minangkabau pada umumnya, mempunyai jiwa kepemimpinan, kecerdasan dan berkepribadian yang baik.(Os bextah)


Masjidil Harram

Sabtu, 10 November 2012

Putra-Putra terbaik Minangkabau untuk Indonesia


                 Torehan Prestasi Putra Ranah Minang Untuk RI


 
Banyak tokoh-tokoh minangkabau yang telah berjasa terhadap Republik Indonesia, sebut saja Chaerul Saleh yang menduduki jabatan menteri terbanyak (12 jabatan) di enam kabinet, di luar jabatan Waperdam, karena jabatan rangkap. Bung Hatta dan Sutan Syahrir juga begitu.
Di samping sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri, keduanya antara lain merangkap jabatan menteri Luar Negeri, Dalam Negeri dan Pertahanan.
Prof.Emil Salim menjadi menteri terlama, 22 tahun (1971-1993) dalam lima Kabinet Pembangunan, sebagai Menteri Negara, Menteri Perhubungan, Menteri KLH (2 kali) dan Menteri LH.
Agus Salim, Muh.Yamin dan Emil Salim lima kali menjadi menteri. Muhammad Natsir, Awaluddin Djamin dan Bustanil Arifin tiga kali. AK Gani, Bung Hatta, Abdul Halim, Bahder Djohan, Azwar Anas dan Syarifuddin Baharsyah masing-masing dua kali.
Yang hanya sekali Dr.M. Amir, Muhammad Syafei, Syahbuddin Latif, St.Muh. Rasyid, Abu Hanifah, Assaat, Mr.M.Nasrun, Prof.SM Abidin, Syamsuddin St.Makmur, Eny Karim, KH Rusli Abd. Wahid, Dahlan Ibrahim, Kol. Nazir, AR Suhud, Harun Zain, Tarmizi Taher dan Abdul Latif.
Sampai Kabinet Pembangunan VI, Menlu dan Menpen ditempati paling banyak delapan kali. Menteri Tenaga Kerja dan Perindustrian 5 kali. Menko, Mendagri dan Menneg tanpa tugas khusus 4 kali. Menteri Pertanian, Koperasi, dan Menteri/Wakil Ketua MPRS masing-masing tiga kali.
Yang dua kali, Menteri Kemakmuran, Pembangunan, Pertahanan, Perburuhan, Perhubungan, KLH dan Urusan Veteran. Yang hanya sekali, Menteri Sosial, Pelayaran, Menneg/Wakil Ketua Bappenas, Menteri Sosio Kulturil, Menteri/Ketua Dewan Perancang Nasional, Lingkungan Hidup, Urusan Minyak dan Gas Bumi dan Menteri Agama.


Sutan Syahrir dan Bung Hatta menjadi Perdana Menteri di awal kemerdekaan, benar-benar dalam situasi sulit. Di samping menghadapi penjajah, tantangan dari dalam pun muncul betubi-tubi.
Syahrir menggantikan Soe karno sebagai Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri), mengantisipasi tuduhan dunia, Indonesia Merdeka adalah boneka Jepang. Syahrir dianggap tepat, karena semasa pendudukan Jepang dia pemimpin yang bergerak di bawah tanah melakukan perlawanan terhadap Jepang.
Kepemimpinan Bung Hatta berhadapan dengan perlawanan PKI, berpuncak pada pemberontakan PKI Madian (1948). Ketegasan Bung Hattalah yang membuat PKI yang dipimpin Muso kocar kacir. Kenyataan itu menyebabkan PKI sangat membencii Bung Hatta.

Setelah Reformasi, pada Kabinet Reformasi Pembangunan yang dipimpin Presiden BJ Habibie, setidaknya seorang putra Minang ada di dalam kabinet, yaitu mantan Gubernur Sumbar, Hasan Basri Durin yang dipercaya menjadi Menteri Agraria.
Pada Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden Megawati, putra Minang yang menjadi menteri adalah Bach tiar Chamsyah sebagai Menteri Sosial, dan Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Sekretaris Negara.
Yusril Ihza Mahendra yang dikenal sebagai putra Bangka, menurut informasi, dia sebenarnya berasal dari sebuah kenegarian di pedalaman Limapuluh Kota. Kelahiran Bangkinang, Riau, semasa kecil orang tuanya pindah ke Bangka, di sanalah ia tumbuh remaja dan dewasa. Di tengah keluarga dan dengan teman-teman sesama urang awak, sehari-hari Yusril menggunakan bahasa Minang.
Pada Kabinet Indonesia Bersatu I yang dipimpin Presiden SBY, keduanya masih dipercaya menjadi menteri. Bachtiar Chamsyah tetap sebagai Menteri Sosial, tetapi Yusril pindah pos menjadi Menteri Hukum dan HAM, yang di pertengahan periode digantikan Andi Mattalata.

Terakhir pada Kabinet Indonesia Bersatu II, ada tiga putra Minang. Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri, Tifatul Sembiring menjadi Menteri Kominfo, dan Patrialis Akbar sebagai Menteri Hukum dan HAM. Ketika ada reshuffle digantikan Amir Syamsuddin.
Mereka putra terbaik bangsa yang lahir dari rahim Ranah Minang, berjuang demi ibu pertiwi, menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi kejayaan bangsa.
Mereka ikut membangun republik ketika kesejahteraan rakyat belum terwujud. Merupakan kebanggaan poisitf bagi Ranah Minang, tetapi tidak mengecilkan arti dan peranan putra bangsa lainnya.
Sebagian besar diantara mereka kini sudah tiada, pergi menghadap Tuhan. Semoga amal bakti mereka, mendapatkan pahala yang setimpal. Semoga Ranah Minang tetap melahirkan pejuang dan pemimpin masa depan, dalam mewujudkan Indonesia yang jaya dan sejahtera.( Os bextah )

Minggu, 04 November 2012

RANAH MINANG PERNAH JADI IBU KOTA NEGARA RI

            Kontribusi Orang Minang Terhadap Kemerdekaan RI




                                                   
Ranah Minang bukan saja menyumbangkan putra terbaiknya ikut dalam kepemimpinan bangsa, tetapi pun salah satu nagari di Sumbar pernah menjadi ibukota Republik Indonesia semasa darurat, ketika Belanda melancarkan agresi kedua. Waktu itu Yogyakarta yang ibukota RI sudah dikuasai Belanda.
Jadi Sumatra Barat, tepatnya kenegarian Koto Tinggi (Kab.50 Kota), adalah ibukota RI ketiga setelah Jakarta dan Yogyakarta. Setelah beberapa pemimpin Nasional membentuk Kabinet PDRI di Halaban, Mr.Sjafruddin Prawiranegara yang menjadi Presiden Darurat (istilahnya Ketua PDRI) pada waktu itu, menetapkan Koto Tinggi strategis sebagai Ibukota.

Dari sinilah PDRI mengatur strategi perjuangan dan pemerintahan ke seluruh Indonesia. Sehingga propaganda Belanda yang mengatakan RI sudah berakhir, gagal total. PDRI sangat berhasil mempertahankan RI dan melanjutkan eksistensi Proklamasi 17 Agusutus 1945.
Wibawa PDRI diakui di seantero Nusantara, yang merata melakukan perlawanan terhadap Belanda Perjuangan gerilya dipimpin Jenderal Sudirman dari suatu tempat di Jawa Timur, selalu berkoordinasi dengan pemerintah pusat yang berkedudukan di Koto Tinggi.
Maka amat perlu Monumen Nasional PDRI didirikan, sebagai monumen mengenang sebuah episode perjuangan di dalam sejarah Indonesia.

Posisi puncak yang pernah ditempati putra Minang adalah Wakil Presiden RI, dijabat Dr.Muhammad Hatta selama 11 tahun (1945 s/d 1956). Kepemimpinan dan kenegara wanannya sangat dominan di samping Bung Karno. Jabatan Wakil Presiden ketika itu jauh dari kesan “ban serap”, karena amat berperan dalam pemerintahan. Istilah dwi tunggal atas kedua proklamator itu gambaran keseimbangan peranan keduanya.

Jabatan Presiden (acting) pernah diduduki putra Minang lainnya, Mr.Assaat, dilantik di Yogyakarta 27 Desember 1949. Menggantikan Soekarno yang diangkat men jadi Presiden RIS (Republik Indonesia Serikat) berkedudukan di Jakarta.
RI merupakan bagian RIS, tetapi posisi dan wilayahnya terluas dibandingkan negara bagian lain dan merupakan negara bagian utama.

Jabatan Perdana Menteri (PM) delapan kali dipegang putra Minang. Pertama Sutan Syahrir, menjadi PM tiga kali. Lalu Bung Hatta juga tiga kali, yang dirangkap dengan jabatan Wakil Presiden. Dr. Abdul Halim menjadi PM ketika RI menjadi bagian RIS.
Terakhir, Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri pertama NKRI. Natsir otak yang mengembalikan RIS menjadi NKRI, terkenal dengan mosi integral Natsir di parlemen ketika itu.
Posisi Wakil Perdana Menteri tiga kali dipegang putra Minang. Yaitu Dr.Adnan Kapau Gani menjadi Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Amir Syarifuddin (1947). Lalu Dr. Chaerul Saleh dua kali, masing-masing pada Kabinet Kerja IV (1963) dan Kabinet Dwikora (1964).
Dalam 31 pergantian kabinet, sejak Kabinet Soekarno s/d Kabinet Pembangunan VI, tercatat 32 orang putra Minang menjadi menteri untuk 78 jabatan (kebanyakan dirangkap). Pun satu jabatan menteri dijabat dua putra Minang karena pergantian. Mr.M.Yamin sebagai Menteri Kehakiman mengundurkan diri, digantikan Mr.M.Nasrun.
Yang pertama menjadi menteri, Dr.M.Amir, Menteri Negara pada Kabinet Soekarno, dilantik 19 Agustus 1945.
Sayang karir politiknya cepat berakhir, wafat dalam usia 49 tahun pada 1949. Terakhir putra Minang yang menjadi menteri sampai saat ini adalah, Gamawan Fauzi sebagai Mendagri dan Tifatul Sembiring sebagai Menkominfo.(Os bextah )